INFO LAIN TENTANG JENIS-JENIS SERTIFIKAT :
Sebelum membeli properti, baik tanah, rumah, maupun apartemen, perlu Anda ketahui status hukum atas properti tersebut. Soal sertifikat, misalnya. Apakah statusnya Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangun, atau Hak Pakai?
Urusan status tentu penting. Salah sedikit, ujung-ujungnya yang didapat bukan kenyamanan, melainkan kerugian dan penyesalan.
Untuk itu, memilih hunian atau properti tidak bisa sembarangan. Pemilihannya harus dilakukan dengan pemikiran matang dan investigasi yang mendalam, terutama pada sertifikat tanahnya. Karena sertifikat tanah menjadi bukti kepemilikan atau penguasaan atas tanah berdirinya hunian Anda.
Kepala Bidang Humas Badan Pertanahan Republik Indonesia, Doli Manahan Panggabean, sertifikat kepemilikan tanah sangat penting bagi siapa pun yang memiliki dan menguasai tanah tersebut. Sertifikat tanah juga menjadi bukti penguasaan sah atas hukum pertanahan.
Ada beberapa macam sertifikat hak atas tanah yang dikenal dalam undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria, yaitu:
SHM (Sertifikat Hak Milik)
SHM merupakan jenis sertifikat dengan kepemilikan hak atas penuh oleh pemegang sertifikat tersebut. SHM juga menjadi bukti kepemilikan paling kuat atas lahan atau tanah karena tidak ada lagi campur tangan ataupun kemungkinan kepemilikan pihak lain.
Status SHM juga tak memiliki batas waktu. Sebagai bukti kepemilikan paling kuat, SHM menjadi alat paling valid untuk melakukan transaksi jual beli maupun penjaminan untuk kepentingan pembiayaan perbankan.
SHGB (Sertifikat Hak Guna Bangun)
SHGB memiliki batas waktu tertentu, biasanya 20 tahun. Pemilik SHGB bisa saja meningkatkan status kepemilikan atas tanah yang mereka kuasai dalam bentuk SHM. Biasanya, peningkatan status sertifikat dari SHGB ke SHM karena di atas tanah itu didirikan bangunan tempat tinggal.
“Sepanjang bidang tanah tersebut terdapat bangunan yang dipergunakan untuk rumah tinggal, dapat ditingkatkan menjadi hak milik. Biaya peningkatan itu sebenarnya tidak ada. Hanya cukup mendaftarkan diri untuk peningkatan hak milik dengan ketentuan yang berlaku, ada IMB. Jika tak ada IMB, cukup diganti surat Model PNI dari kelurahan di atas tanah bidang tersebut yang menyatakan untuk rumah tinggal,” kata Doli.
SHSRS (Sertifikat Hak Satun Rumah Susun)
Adapun SHSRS berhubungan dengan kepemilikan seseorang atas rumah vertikal, rumah susun yang dibangun di atas tanah dengan kepemilikan bersama. Pengaturan kepemilikan bersama dalam satuan rumah susun digunakan untuk memberi dasar kedudukan atas bench tak bergerak yang menjadi obyek kepemilikan di luar unit, mulai taman, tempat parkir, sampai area lobi.
INFO LAIN TENTANG JENIS-JENIS SERTIFIKAT :
Sebelum membeli properti, baik tanah, rumah, maupun apartemen, perlu Anda ketahui status hukum atas properti tersebut. Soal sertifikat, misalnya. Apakah statusnya Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangun, atau Hak Pakai?
Urusan status tentu penting. Salah sedikit, ujung-ujungnya yang didapat bukan kenyamanan, melainkan kerugian dan penyesalan.
Untuk itu, memilih hunian atau properti tidak bisa sembarangan. Pemilihannya harus dilakukan dengan pemikiran matang dan investigasi yang mendalam, terutama pada sertifikat tanahnya. Karena sertifikat tanah menjadi bukti kepemilikan atau penguasaan atas tanah berdirinya hunian Anda.
Kepala Bidang Humas Badan Pertanahan Republik Indonesia, Doli Manahan Panggabean, sertifikat kepemilikan tanah sangat penting bagi siapa pun yang memiliki dan menguasai tanah tersebut. Sertifikat tanah juga menjadi bukti penguasaan sah atas hukum pertanahan.
Ada beberapa macam sertifikat hak atas tanah yang dikenal dalam undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria, yaitu:
SHM (Sertifikat Hak Milik)
SHM merupakan jenis sertifikat dengan kepemilikan hak atas penuh oleh pemegang sertifikat tersebut. SHM juga menjadi bukti kepemilikan paling kuat atas lahan atau tanah karena tidak ada lagi campur tangan ataupun kemungkinan kepemilikan pihak lain.
Status SHM juga tak memiliki batas waktu. Sebagai bukti kepemilikan paling kuat, SHM menjadi alat paling valid untuk melakukan transaksi jual beli maupun penjaminan untuk kepentingan pembiayaan perbankan.
SHGB (Sertifikat Hak Guna Bangun)
SHGB memiliki batas waktu tertentu, biasanya 20 tahun. Pemilik SHGB bisa saja meningkatkan status kepemilikan atas tanah yang mereka kuasai dalam bentuk SHM. Biasanya, peningkatan status sertifikat dari SHGB ke SHM karena di atas tanah itu didirikan bangunan tempat tinggal.
“Sepanjang bidang tanah tersebut terdapat bangunan yang dipergunakan untuk rumah tinggal, dapat ditingkatkan menjadi hak milik. Biaya peningkatan itu sebenarnya tidak ada. Hanya cukup mendaftarkan diri untuk peningkatan hak milik dengan ketentuan yang berlaku, ada IMB. Jika tak ada IMB, cukup diganti surat Model PNI dari kelurahan di atas tanah bidang tersebut yang menyatakan untuk rumah tinggal,” kata Doli.
SHSRS (Sertifikat Hak Satun Rumah Susun)
Adapun SHSRS berhubungan dengan kepemilikan seseorang atas rumah vertikal, rumah susun yang dibangun di atas tanah dengan kepemilikan bersama. Pengaturan kepemilikan bersama dalam satuan rumah susun digunakan untuk memberi dasar kedudukan atas bench tak bergerak yang menjadi obyek kepemilikan di luar unit, mulai taman, tempat parkir, sampai area lobi.
Pahami Perbedaan Hukum dari PPJB dan AJB!
Pahami Perbedaan Hukum dari PPJB dan AJB!
Dalam PPJB biasanya diatur tentang syara-syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh para pihak agar dapat dilakukannya AJB. Dengan demikian, PPJB merupakan ikatan awal yang bersifat di bawah tangan untuk dapat dilakukannya AJB yang bersifat otentik.
Pada proses transaksi jual beli tanah, kita seringkali mendengar dua istilah ini, PPJB dan AJB. Kedua istilah itu merupakan sama-sama perjanjian, tapi memiliki akibat hukum yang berbeda.
PPJB adalah Perjanjian Pengikatan Jual Beli, sedangkan AJB adalah Akta Jual Beli. Perbedaan utama keduanya adalah pada sifat otentikasinya.
PPJB merupakan ikatan awal antara penjual dan pembeli tanah yang bersifat di bawah tangan atau akta nonotentik. Akta non otentik berarti akta yang dibuat hanya oleh para pihak atau calon penjual dan pembeli, tetapi tidak melibatkan notarsi/PPAT.
Karena sifatnya non otentik, hal itu menyebabkan PPJB tidak mengikat tanah sebagai obyek perjanjiannya, dan tentu, tidak menyebabkan beralihnya kepemilikan tanah dari penjual ke pembeli.
Umumnya, PPJB mengatur bagaimana penjual akan menjual tanahnya kepada pembeli. Namun demikian, hal tersebut belum dapat dilakukan karena ada sebab-sebab tertentu. Misalnya, tanahnya masih dalam jaminan bank atau masih diperlukan syarat lain untuk dilakukannya penyerahan. Maka, dalam sebuah transaksi jual beli tanah, calon penjual dan pembeli tidak diwajibkan membuat PPJB.
Berbeda halnya dengan PPJB, AJB merupakan akta otentik yang dibuat oleh Notaris/PPAT dan merupakan syarat dalam jual beli tanah. Dengan dibuatnya AJB oleh Notaris/PPAT, maka tanah sebagai obyek jual beli telah dapat dialihkan atau balik nama dari penjual kepada pembeli.
Dalam PPJB biasanya diatur tentang syara-syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh para pihak agar dapat dilakukannya AJB. Dengan demikian, PPJB merupakan ikatan awal yang bersifat di bawah tangan untuk dapat dilakukannya AJB yang bersifat otentik. Sekali lagi, AJB sifatnya otentik!
Dalam PPJB biasanya diatur tentang syara-syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh para pihak agar dapat dilakukannya AJB. Dengan demikian, PPJB merupakan ikatan awal yang bersifat di bawah tangan untuk dapat dilakukannya AJB yang bersifat otentik.
Pada proses transaksi jual beli tanah, kita seringkali mendengar dua istilah ini, PPJB dan AJB. Kedua istilah itu merupakan sama-sama perjanjian, tapi memiliki akibat hukum yang berbeda.
PPJB adalah Perjanjian Pengikatan Jual Beli, sedangkan AJB adalah Akta Jual Beli. Perbedaan utama keduanya adalah pada sifat otentikasinya.
PPJB merupakan ikatan awal antara penjual dan pembeli tanah yang bersifat di bawah tangan atau akta nonotentik. Akta non otentik berarti akta yang dibuat hanya oleh para pihak atau calon penjual dan pembeli, tetapi tidak melibatkan notarsi/PPAT.
Karena sifatnya non otentik, hal itu menyebabkan PPJB tidak mengikat tanah sebagai obyek perjanjiannya, dan tentu, tidak menyebabkan beralihnya kepemilikan tanah dari penjual ke pembeli.
Umumnya, PPJB mengatur bagaimana penjual akan menjual tanahnya kepada pembeli. Namun demikian, hal tersebut belum dapat dilakukan karena ada sebab-sebab tertentu. Misalnya, tanahnya masih dalam jaminan bank atau masih diperlukan syarat lain untuk dilakukannya penyerahan. Maka, dalam sebuah transaksi jual beli tanah, calon penjual dan pembeli tidak diwajibkan membuat PPJB.
Berbeda halnya dengan PPJB, AJB merupakan akta otentik yang dibuat oleh Notaris/PPAT dan merupakan syarat dalam jual beli tanah. Dengan dibuatnya AJB oleh Notaris/PPAT, maka tanah sebagai obyek jual beli telah dapat dialihkan atau balik nama dari penjual kepada pembeli.
Dalam PPJB biasanya diatur tentang syara-syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh para pihak agar dapat dilakukannya AJB. Dengan demikian, PPJB merupakan ikatan awal yang bersifat di bawah tangan untuk dapat dilakukannya AJB yang bersifat otentik. Sekali lagi, AJB sifatnya otentik!
Cara Menghitung Pajak Tanah yang Anda Beli!
Dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP). NPOP dalam jual beli tanah ini adalah harga transaksi.
Pada saat melakukan jual-beli tanah dan bangunan, baik pembeli maupun penjual tentu akan dikenakan pajak. Penjual akan dikenakan pajak penghasilan (PPh) atas uang pembayaran harga tanah yang diterimanya, sedangkan Anda, misalnya, sebagai pembeli akan dikenakan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) atas perolehan hak atas tanahnya. Nah, sudah tahu cara menghitungnya?
Perlu diketahui, BPHTB dikenakan bukan hanya pada saat terjadinya jual-beli tanah, melainkan juga terhadap setiap perolehan hak atas tanah dan bangunan, seperti tukar-menukar, hibah, waris, pemasukan tanah ke dalam perseroan, dan lain-lainnya. Pada transaksi jual-beli tanah, yang menjadi subjek pajak BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan itu, yaitu pembeli.
Dalam rangka pembayaran BPHTB oleh Anda sebagai pembeli, dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP). NPOP dalam jual beli tanah ini adalah harga transaksi. Ini jelas berbeda, misalnya, dengan tukar menukar, hibah atau warisan, yang dasar NPOP-nya menggunakan nilai pasar (Nilai Jual Objek Pajak/NJOP).
Nilai Perolehan Obyek Pajak atau harga transaksi bisa lebih besar atau bisa juga lebih kecil dari Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP), tergantung dari kesepakatan penjual dan pembeli. Terkadang, harga transaksi itu bisa juga sama dengan nilai NJOP.
Namun, apabila harga transaksi lebih kecil dari NJOP, maka yang menjadi dasar penentuan NPOP adalah nilai NJOP. Sebaliknya, jika harga transaksi lebih besar dari NJOP, maka nilai penentuan NPOP berdasarkan harga transaksi tersebut, yaitu nilai paling tinggi di antara NPOP dan NJOP.
NPOPTKP
Selain NPOP dan NJOP, faktor lain perlu Anda perhatikan dalam menentukan besarnya BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). NPOPTKP adalah nilai pengurangan NPOP sebelum dikenakan tarif BPHTB.
Contohnya? Jika harga transaksi tanah Rp 100.000.000, maka sebelum harga transaksi tersebut dikenakan tarif BPHTB (5 persen), terlebih dahulu harga transaksi itu dikurangi NPOPTKP. Misalnya. dikurangi NPOPTKP sebesar Rp 80.000.000 untuk daerah DKI Jakarta. Hal ini akan membuat nilai pajak pembeli lebih kecil dibandingkan nilai pajak penjual, karena penjual tidak dikenakan NPOPTKP.
Contoh menghitung BPHTB
Tentunya, setiap daerah memiliki penetapan NPOPTKP berbeda-beda, tergantung peraturan daerah tersebut. Untuk wilayah DKI Jakarta misalnya, NPOPTKP ditetapkan sebesar Rp 80.000.000 untuk transaksi jual beli tanah dan Rp 350.000.000 untuk perolehan hak karena waris atau hibah wasiat diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah.
Anda membeli tanah milik si A dengan nilai jual beli sebesar Rp 200.000.000. Maka, pajak penjual dan pajak pembeli adalah sebagai berikut:
Pajak Pembeli (BPHTB)
- NPOP: Rp 200.000.000
- NPOPTKP: Rp 80.000.000
- NPOP Kena Pajak : Rp 120.000.000
- BPHTB: : 5 % x Rp 120.000.000 = Rp 6.000.000
Pajak Penjual (PPh)
- NPOP: Rp 200.000.000
NPOP Kena Pajak: Rp 200.000.000
PPh: 5% x Rp 200.000.000 = Rp 10.000.000
Mengubah HGB ke SHM
Anda akan dikenai biaya peningkatan HGB menjadi SHM. Besar biaya tergantung biaya NJOP (Nilai Jual Obyek Pajak) dan luas tanah. Adapun rumus menentukan biaya NJOP sebagai berikut: 2 x (NJOP Tanah – Rp 60 juta).
Tanah dengan status sertifikat hak guna bangunan (HGB) bisa ditingkatkan statusnya menjadi sertifikat hak milik (SHM) dengan melakukan pengurusan pada kantor pertanahan di wilayah tanah itu berada. Selain tidak repot, prosesnya juga cepat. Berikut langkah-langkah mengurusnya:
Sertifikat asli
Siapkan sertifikat asli HGB yang akan diubah status. Tanpa sertifikat ini, upaya Anda untuk mengubah status akan sia-sia. Oleh karena itu, Anda harus menyiapkannya lebih awal dengan membuat copysertifikat HGB.
Fotokopi IMB
Langkah selanjutnya adalah menyiapkan fotokopi Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Hal ini berguna sebagai bukti legalitas yang memperbolehkan tanah digunakan untuk mendirikan bangunan.
Identitas diri
Jangan lupa juga untuk fotokopi identitas diri. Lampirkan fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) sebagai keterangan identitas pengajuan Anda. Siapkan fotokopi SPPT PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) yang terakhir. Lampiran ini diperlukan untuk melihat jejak rekam pajak, seperti luas tanah dan luas bangunan yang kena pajak.
Surat permohonan
Anda juga harus mengajukan surat permohonan kepada Kepala Kantor Pertanahan setempat. Surat ini sebaiknya sudah diproses sebelum Anda mengajukan pengubahan status sertifikat HGB menjadi SHM. Ketika surat ini sudah ada, segeralah di-copy beberapa lembar dan lampirkan aslinya bersama dengan lampiran lain.
Membayar biaya
Anda akan dikenai biaya peningkatan HGB menjadi SHM. Besar biaya tergantung biaya NJOP (Nilai Jual Obyek Pajak) dan luas tanah. Adapun rumus menentukan biaya NJOP sebagai berikut: 2% x (NJOP Tanah – Rp 60 juta).
Sebagai gambaran, untuk tanah seluas 100m2 di Jakarta dengan NJOP sebesar Rp 1 juta per meter persegi, Anda mesti membayar Rp 800.000. Perlu diingat, bahwa angka variabel tergantung daerahnya. Misalnya, Jakarta angka variabelnya sebesar Rp 60 juta, Tangerang sebesar Rp 50 juta, dan Bekasi sebesar Rp 30 juta.
Jasa notaris
Namun, jika tak mau repot, Anda juga bisa menggunakan jasa notaris PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) untuk pengurusan HGB ke SHM. Tentunya, Anda harus menyiapkan dana sekitar Rp 1 juta hingga Rp 3 juta untuk jasa notaris itu
Cara Menghitung Pajak Tanah yang Anda Beli!
Dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP). NPOP dalam jual beli tanah ini adalah harga transaksi.
Pada saat melakukan jual-beli tanah dan bangunan, baik pembeli maupun penjual tentu akan dikenakan pajak. Penjual akan dikenakan pajak penghasilan (PPh) atas uang pembayaran harga tanah yang diterimanya, sedangkan Anda, misalnya, sebagai pembeli akan dikenakan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) atas perolehan hak atas tanahnya. Nah, sudah tahu cara menghitungnya?
Perlu diketahui, BPHTB dikenakan bukan hanya pada saat terjadinya jual-beli tanah, melainkan juga terhadap setiap perolehan hak atas tanah dan bangunan, seperti tukar-menukar, hibah, waris, pemasukan tanah ke dalam perseroan, dan lain-lainnya. Pada transaksi jual-beli tanah, yang menjadi subjek pajak BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan itu, yaitu pembeli.
Dalam rangka pembayaran BPHTB oleh Anda sebagai pembeli, dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP). NPOP dalam jual beli tanah ini adalah harga transaksi. Ini jelas berbeda, misalnya, dengan tukar menukar, hibah atau warisan, yang dasar NPOP-nya menggunakan nilai pasar (Nilai Jual Objek Pajak/NJOP).
Nilai Perolehan Obyek Pajak atau harga transaksi bisa lebih besar atau bisa juga lebih kecil dari Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP), tergantung dari kesepakatan penjual dan pembeli. Terkadang, harga transaksi itu bisa juga sama dengan nilai NJOP.
Namun, apabila harga transaksi lebih kecil dari NJOP, maka yang menjadi dasar penentuan NPOP adalah nilai NJOP. Sebaliknya, jika harga transaksi lebih besar dari NJOP, maka nilai penentuan NPOP berdasarkan harga transaksi tersebut, yaitu nilai paling tinggi di antara NPOP dan NJOP.
NPOPTKP
Selain NPOP dan NJOP, faktor lain perlu Anda perhatikan dalam menentukan besarnya BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). NPOPTKP adalah nilai pengurangan NPOP sebelum dikenakan tarif BPHTB.
Contohnya? Jika harga transaksi tanah Rp 100.000.000, maka sebelum harga transaksi tersebut dikenakan tarif BPHTB (5 persen), terlebih dahulu harga transaksi itu dikurangi NPOPTKP. Misalnya. dikurangi NPOPTKP sebesar Rp 80.000.000 untuk daerah DKI Jakarta. Hal ini akan membuat nilai pajak pembeli lebih kecil dibandingkan nilai pajak penjual, karena penjual tidak dikenakan NPOPTKP.
Contoh menghitung BPHTB
Tentunya, setiap daerah memiliki penetapan NPOPTKP berbeda-beda, tergantung peraturan daerah tersebut. Untuk wilayah DKI Jakarta misalnya, NPOPTKP ditetapkan sebesar Rp 80.000.000 untuk transaksi jual beli tanah dan Rp 350.000.000 untuk perolehan hak karena waris atau hibah wasiat diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah.
Anda membeli tanah milik si A dengan nilai jual beli sebesar Rp 200.000.000. Maka, pajak penjual dan pajak pembeli adalah sebagai berikut:
Pajak Pembeli (BPHTB)
- NPOP: Rp 200.000.000
- NPOPTKP: Rp 80.000.000
- NPOP Kena Pajak : Rp 120.000.000
- BPHTB: : 5 % x Rp 120.000.000 = Rp 6.000.000
Pajak Penjual (PPh)
- NPOP: Rp 200.000.000
NPOP Kena Pajak: Rp 200.000.000
PPh: 5% x Rp 200.000.000 = Rp 10.000.000
Mengubah HGB ke SHM
Anda akan dikenai biaya peningkatan HGB menjadi SHM. Besar biaya tergantung biaya NJOP (Nilai Jual Obyek Pajak) dan luas tanah. Adapun rumus menentukan biaya NJOP sebagai berikut: 2 x (NJOP Tanah – Rp 60 juta).
Tanah dengan status sertifikat hak guna bangunan (HGB) bisa ditingkatkan statusnya menjadi sertifikat hak milik (SHM) dengan melakukan pengurusan pada kantor pertanahan di wilayah tanah itu berada. Selain tidak repot, prosesnya juga cepat. Berikut langkah-langkah mengurusnya:
Sertifikat asli
Siapkan sertifikat asli HGB yang akan diubah status. Tanpa sertifikat ini, upaya Anda untuk mengubah status akan sia-sia. Oleh karena itu, Anda harus menyiapkannya lebih awal dengan membuat copysertifikat HGB.
Fotokopi IMB
Langkah selanjutnya adalah menyiapkan fotokopi Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Hal ini berguna sebagai bukti legalitas yang memperbolehkan tanah digunakan untuk mendirikan bangunan.
Identitas diri
Jangan lupa juga untuk fotokopi identitas diri. Lampirkan fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) sebagai keterangan identitas pengajuan Anda. Siapkan fotokopi SPPT PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) yang terakhir. Lampiran ini diperlukan untuk melihat jejak rekam pajak, seperti luas tanah dan luas bangunan yang kena pajak.
Surat permohonan
Anda juga harus mengajukan surat permohonan kepada Kepala Kantor Pertanahan setempat. Surat ini sebaiknya sudah diproses sebelum Anda mengajukan pengubahan status sertifikat HGB menjadi SHM. Ketika surat ini sudah ada, segeralah di-copy beberapa lembar dan lampirkan aslinya bersama dengan lampiran lain.
Membayar biaya
Anda akan dikenai biaya peningkatan HGB menjadi SHM. Besar biaya tergantung biaya NJOP (Nilai Jual Obyek Pajak) dan luas tanah. Adapun rumus menentukan biaya NJOP sebagai berikut: 2% x (NJOP Tanah – Rp 60 juta).
Sebagai gambaran, untuk tanah seluas 100m2 di Jakarta dengan NJOP sebesar Rp 1 juta per meter persegi, Anda mesti membayar Rp 800.000. Perlu diingat, bahwa angka variabel tergantung daerahnya. Misalnya, Jakarta angka variabelnya sebesar Rp 60 juta, Tangerang sebesar Rp 50 juta, dan Bekasi sebesar Rp 30 juta.
Jasa notaris
Namun, jika tak mau repot, Anda juga bisa menggunakan jasa notaris PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) untuk pengurusan HGB ke SHM. Tentunya, Anda harus menyiapkan dana sekitar Rp 1 juta hingga Rp 3 juta untuk jasa notaris itu
Merubah Status AJB Menjadi Surat Hak Milik
Meningkatkan status tanah menjadi hak milik sangat penting. Namun, bagaimana dengan tanah girik atau kerap disebut tanah adat atau tanah-tanah lainnya yang belum dikonversi sehingga memiliki salah satu hak tertentu?
Mengalihkan hak atas tanah girik biasanya dilakukan di depan lurah atau kepala desa. Namun, banyak pula yang melakukan berdasarkan kepercayaan pihak-pihak tertentu, sehingga tidak ada surat-surat resmi yang bisa menelusuri kepemilikannya.
Perubahan tanah girik menjadi tanah bersertifikat resmi disebut pendaftaran tanah pertama kali. Proses pembuatan sertifikat ini dapat ditempuh dalam waktu 6 bulan sampai 1 tahun. Adapun tahapan prosesnya sebagai berikut:
Mengalihkan hak atas tanah girik biasanya dilakukan di depan lurah atau kepala desa. Namun, banyak pula yang melakukan berdasarkan kepercayaan pihak-pihak tertentu, sehingga tidak ada surat-surat resmi yang bisa menelusuri kepemilikannya.
Perubahan tanah girik menjadi tanah bersertifikat resmi disebut pendaftaran tanah pertama kali. Proses pembuatan sertifikat ini dapat ditempuh dalam waktu 6 bulan sampai 1 tahun. Adapun tahapan prosesnya sebagai berikut:
- Mendapatkan surat rekomendasi dari lurah atau camat perihal tanah yang bersangkutan. Isinya menyatakan bahwa tanah tersebut belum pernah mengalami proses sertifikasi serta riwayat pemilikan tanah dimaksud.
- Pembuatan surat yang menyatakan bahwa tanah tersebut tidak dalam keadaan sengketa dari RT, RW, dan kelurahan.
- Dilakukan peninjauan lokasi dan pengukuran tanah oleh kantor pertanahan.
- Penerbit gambar situasi atau surat ukur yang dilanjutkan dengan pengesahannya.
- Pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan [ BPHTB ] sesuai dengan luas yang tercantum dalam Gambar Situasi atau Surat Ukur. Pembayaran BPHTB tersebut dilakukan apabila tanah yang dimohon berasal dari tanah negara atau tanah garapan. Pada proses pelaksanaan, Akta Jual Beli [ AJB ] dulu, BPHTB belum dibayarkan.
- Proses pertimbangan pada panitia.
- Pengumuman di kantor pertanahan dan kantor kelurahan setempat selama lebih kurang 2 bulan. • Pengesahan pengumuman.
- Penerbitan sertifikat tanah.
I. Akta Jual Beli (AJB) Si penjual dan si pembeli harus datang ke Kantor Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) untuk membuat akta jual beli tanah. PPAT adalah Pejabat umum yang diangkat oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional yang mempunyai kewenangan membuat akta jual beli dimaksud. Sedangkan untuk daerah-daerah yang belum cukup jumlah PPAT-nya, Camat karena jabatannya dapat melaksanakan tugas PPAT membuat akta jual beli tanah.
II. Persyaratan AJB yang diperlukan untuk membuat Akta Jual Beli Tanah di Kantor Pembuat Akta Tanah adalah :
a. Penjual membawa : · Asli Sertifikat hak atas tanah yang akan dijual. · Kartu Tanda Penduduk. · Bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan. · Surat Persetujuan Suami/Isteri bagi yang sudah berkeluarga. · Kartu Keluarga.
b. Sedangkan calon pembeli membawa : · Kartu Tanda Penduduk. · Kartu Keluarga.
III. Proses pembuatan akta jual beli di Kantot PPAT.
a. Persiapan Pembuatan Akta Jual Beli.
a.1) Sebelum membuat akta Jual Beli Pejabat pembuat Akta Tanah melakukan pemeriksaan mengenai keaslian sertifikat ke kantor Pertanahan.
a.2) Pejual harus membayar Pajak Penghasilan (PPh) apabila harga jual tanah di atas enam puluh juta rupiah di Bank atau Kantor Pos.
a.3) Calon pembeli dapat membuat pernyataan bahwa dengan membeli tanah tersebut ia tidak menjadi pemegang hak atas tanah yang melebihi ketentuan batas luas maksimum.
a.4) Surat pernyataan dari penjual bahwa tanah yang dimiliki tidak dalam sengketa.
a.5) PPAT menolak pembuatan Akta jual Beli apabila tanah yang akan dijual sedang dalam sengketa.
b. Pembuatan Akta Jual Beli :
b.1) Pembuatan akta harus dihadiri oleh penjual dan calon pembeli atau orang yang diberi kuasa dengan surat kuasa tertulis.
b.2) Pembuatan akta harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi.
b.3) Pejabat pembuat Akta Tanah membacakan akta dan menjelaskan mengenai isi dan maksud pembuatan akta.
b.4) Bila isi akta telah disetujui oleh penjual dan calon pembeli maka akta ditandatangani oleh penjual, calon pembeli, saksi-saksi dan Pejabat Pembuat Akte Tanah.
b.5) Akta dibuat dua lembar asli, satu lembar disimpan di Kantor PPAT dan satu lembar lainnya disampaikan ke Kantor Pertanahan untuk keperluan pendaftaran (balik nama).
b.6) Kepada penjual dan pembeli masing-masing diberikan salinannya.
IV. Bagaimana langkah selanjutnya setelah selesai pembuatan Akta Jual Beli ?
a. Setelah selesai pembuatan Akta Jual Beli, PPAT kemudian menyerahkan berkas Akta Jual Beli ke Kantor Pertanahan untuk keperluan balik nama sertifikat.
b. Penyerahan harus dilaksanakan selambat-lambatnya tujuh hari kerja sejak ditandatanganinya akta tersebut.
V. Berkas yang diserahkan itu apa saja ?
a. Surat permohonan balik nama yang ditandatangani oleh pembeli.
b. Akta jual beli PPAT.
c. Sertifikat hak atas tanah.
d. Kartu Tanda Penduduk (KTP) pembeli dan penjual.
e. Bukti pelunasan pembayaraan Pajak Penghasilan (PPh).
f. Bukti pelunasan pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
VI. Bagaimana prosesnya di Kantor Pertanahan ?
a. Setelah berkas disampaikan ke Kantor Pertanahan, Kantor Pertanahan memberikan tanda bukti penerimaan permohonan balik nama kepada PPAT, selanjutnya oleh PPAT tanda bukti penerimaan ini diserahkan kepada Pembeli.
b. Nama pemegang hak lama (penjual) di dalam buku tanah dan sertifikat dicoret dengan tinta hitam dan diparaf oleh Kepala Kantor Pertanahan atau Pejabat yang ditunjuk.
c. Nama pemegang hak yang baru (pembeli) ditulis pada halaman dan kolom yang ada pada buku tanah dan sertifikat dengan bibubuhi tanggal pencatatan dan ditandatangani oleh Kepala Kantor Pertanahan atau pejabat yang ditunjuk.
d. Dalam waktu 14 (empat belas hari) pembeli sudah dapat mengambil sertifikat yang sudah atas nama pembeli di kantor pertanahan.
b.1) Pembuatan akta harus dihadiri oleh penjual dan calon pembeli atau orang yang diberi kuasa dengan surat kuasa tertulis.
b.2) Pembuatan akta harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi.
b.3) Pejabat pembuat Akta Tanah membacakan akta dan menjelaskan mengenai isi dan maksud pembuatan akta.
b.4) Bila isi akta telah disetujui oleh penjual dan calon pembeli maka akta ditandatangani oleh penjual, calon pembeli, saksi-saksi dan Pejabat Pembuat Akte Tanah.
b.5) Akta dibuat dua lembar asli, satu lembar disimpan di Kantor PPAT dan satu lembar lainnya disampaikan ke Kantor Pertanahan untuk keperluan pendaftaran (balik nama).
b.6) Kepada penjual dan pembeli masing-masing diberikan salinannya.
IV. Bagaimana langkah selanjutnya setelah selesai pembuatan Akta Jual Beli ?
a. Setelah selesai pembuatan Akta Jual Beli, PPAT kemudian menyerahkan berkas Akta Jual Beli ke Kantor Pertanahan untuk keperluan balik nama sertifikat.
b. Penyerahan harus dilaksanakan selambat-lambatnya tujuh hari kerja sejak ditandatanganinya akta tersebut.
V. Berkas yang diserahkan itu apa saja ?
a. Surat permohonan balik nama yang ditandatangani oleh pembeli.
b. Akta jual beli PPAT.
c. Sertifikat hak atas tanah.
d. Kartu Tanda Penduduk (KTP) pembeli dan penjual.
e. Bukti pelunasan pembayaraan Pajak Penghasilan (PPh).
f. Bukti pelunasan pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
VI. Bagaimana prosesnya di Kantor Pertanahan ?
a. Setelah berkas disampaikan ke Kantor Pertanahan, Kantor Pertanahan memberikan tanda bukti penerimaan permohonan balik nama kepada PPAT, selanjutnya oleh PPAT tanda bukti penerimaan ini diserahkan kepada Pembeli.
b. Nama pemegang hak lama (penjual) di dalam buku tanah dan sertifikat dicoret dengan tinta hitam dan diparaf oleh Kepala Kantor Pertanahan atau Pejabat yang ditunjuk.
c. Nama pemegang hak yang baru (pembeli) ditulis pada halaman dan kolom yang ada pada buku tanah dan sertifikat dengan bibubuhi tanggal pencatatan dan ditandatangani oleh Kepala Kantor Pertanahan atau pejabat yang ditunjuk.
d. Dalam waktu 14 (empat belas hari) pembeli sudah dapat mengambil sertifikat yang sudah atas nama pembeli di kantor pertanahan.
Penyebab Jual Beli Tanah Dianggap Tidak Sah
Dalam pemeriksaan sertifikat, pastikan bahwa tanah dan bangunan tersebut tidak sedang berada di bawah hak tanggungan atau sedang dalam sita jaminan, atau sedang diblokir karena terlibat sengketa hukum.
Tanah dan bangunan adalah benda tidak bergerak (benda tetap) sehingga proses jual belinya berbeda dengan jual beli benda bergerak seperti kendaraan, televisi, dan lain-lain. Secara hukum, jual beli benda bergerak terjadi secara tunai dan seketika, yaitu selesai ketika pembeli membayar harganya dan penjual menyerahkan barangnya.
Hal tersebut berbeda dengan jual beli tanah dan bangunan yang memerlukan akta otentik. Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang.
Dalam proses jual beli tanah dan bangunan, akta tersebut dibuat oleh Notaris/PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah). Jual beli tanah dan bangunan yang dilakukan dengan perjanjian di bawah tangan tidaklah sah, dan tidak menyebabkan beralihnya tanah dan bangunan dari penjual kepada pembeli (meskipun pembeli telah membayar lunas harganya).
Jual beli tanah dan bangunan memang harus dilakukan dengan Akta Jual Beli (AJB) yang dibuat oleh Notaris/PPAT. Berikut langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam melakukan jual beli tanah dan bangunan:
Periksa dulu obyek tanah dan bangunan yang akan dibeli. Pemeriksaan bisa meliputi pemeriksaan fisik dan pemeriksaan sertifikat.
Setelah pemeriksaan fisik, pembeli dapat melakukan pemeriksaan pajak (PBB) di kantor pajak dan pemeriksaan sertifikat tanah dan bangunan di kantor pertanahan setempat. Pemeriksaan PPB di kantor pajak dilakukan untuk memastikan bahwa pemilik tanah telah melunasi seluruh PBB yang menjadi kewajibannya.
Dalam pemeriksaan sertifikat, pastikan bahwa tanah dan bangunan tersebut tidak sedang berada di bawah hak tanggungan atau sedang dalam sita jaminan, atau sedang diblokir karena terlibat sengketa hukum. Jika diperlukan, calon pembeli juga dapat memastikan tanah dan bangunan tersebut tidak sedang berada dalam sengketa, yaitu dengan memeriksanya ke Pengadilan Negeri di mana tanah dan bangunan tersebut terletak.
Selanjutnya, jika berdasarkan pemeriksaan tanah dan bangunan tersebut tidak bermasalah, proses jual beli dilakukan dengan pembuatan AJB di kantor Notaris/PPAT. Jika penjual dan pembeli tidak sempat atau tidak mengerti proses dan tata cara pemeriksaan tanah sebagaimana dimaksud di atas, penjual dan pembeli dapat meminta Notaris/PPAT untuk melakukan pemeriksaan tersebut sebelum dibuatnya AJB.
AJB merupakan syarat untuk pencatatan balik nama sertifikat tanah dari penjual kepada pembeli. Dalam pembuatan AJB, masing-masing pihak penjual dan pembeli berkewajiban membayar pajak transaksi. Penjual wajib membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 5% dan pembeli wajib membayar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebesar 5%. Setelah pembuatan AJB dan pembayaran pajak, maka Notaris/PPAT akan melakukan balik nama sertifikat di kantor pertanahan dan setelah itu tanah dan bangunan telah sah menjadi milik pembeli.
Prosedur dan Syarat Penandatanganan Akta Jual Beli (AJB)
Menurut UUPA, jual beli adalah proses yang dapat menjadi bukti adanya peralihan hak dari penjual kepada pembeli. Prinsip dasarnya adalah Terang dan Tunai, yakni dilakukan di hadapan pejabat umum yang berwenang dan dibayarkan secara tunai. Ini artinya jika harga yang dibayarkan tidak lunas maka proses jual beli belum dapat dilakukan.
Pejabat umum yang berwenang, dalam hal ini, PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) diangkat oleh kepala Badan Pertanahan Nasional RI. Kewenangannya untuk membuat akta-akta tertentu, seperti Akta Jual Beli, Tukar Menukar, Hibah, Pemberian Hak Bangunan atas Tanah Hak Milik, Pemberian Hak Tanggungan, Pemasukan ke dalam Perusahaan, Pembagian Hak Bersama dan Pemberian Hak Pakai atas Tanah Hak Milik.
Sebelum melakukan proses jual beli, penjual maupun pembeli harus memastikan bahwa tanah tersebut tidak sedang dalam sengketa atau tanggungan di Bank. Jika tanah tersebut sedang dalam permasalahan maka PPAT dapat menolak pembuatan Akta Jual Beli yang diajukan.
Adapun data-data yang dibutuhkan untuk terjadinya Jual beli adalah sebagai berikut:
1. Data Penjual dan Pembeli
A. Penjual
Data yang perlu disiapkan adalah:
- Foto copy KTP (apabila sudah menikah maka Foto copy KTP Suami dan Istri)
- Kartu Keluarga (KK)
- Surat Nikah (kalau sudah nikah)
- Asli Sertifikat Hak Atas Tanah yang akan dijual meliputi (Sertifikat Hak Milik, Sertifikat Hak Guna Bangunan, Sertifikat Hak Guna Usaha, Sertifikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun). Selain 4 jenis sertifikat tersebut, maka bukan Akta PPAT yang digunakan melainkan Akta Notaris.
- Bukti Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) 5 tahun terakhir.
- NPWP
- Foto copy Surat Keterangan WNI/ganti nama (bila ada untuk WNI keturunan)
- Surat bukti persetujan suami istri (bagi yang sudah berkeluarga)
- Jika suami/istri penjual sudah meninggal maka yang harus dibawa adalah akta kematian.
- Jika suami istri telah bercerai, yang harus dibawa adalah Surat Penetapan dan Akta Pembagian Harta Bersama yang menyatakan tanah/bangunan adalah hak dari penjual dari pengadilan.
B. Pembeli
- Foto copy KTP (Apabila sudah menikah maka Foto copy KTP suami dan Istri)
- Kartu Keluarga (KK)
- Surat Nikah (kalau sudah nikah)
- NPWP
2. Proses Pembuatan AJB di Kantor PPAT
A. Persiapan
- Sebelum membuat AJB, PPAT akan melakukan pemeriksaan mengenai keaslian sertifikat ke kantor Pertanahan.
- Penjual harus membayar pajak penghasilan (PPh, sedangkan pembeli diharuskan membayar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dengan ketentuan sebagai berikut:
Pajak Penjual (PPh = NJOP/Harga Jual x 5 %
Pajak Pembeli (BPHTB) = {NJOP/Harga Jual - Nilai Tidak Kena Pajak} x 5 %
NJOP adalah singkatan dari Nilai Jual Objek Pajak, yakni harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar.
- Calon pembeli dapat membuat surat pernyataan bahwa dengan membeli tanah tersebut maka tidak lantas menjadi pemegang Hak Atas Tanah yang melebihi ketentuan batas luas maksimum.
- PPh maupun BPHTB dapat dibayarkan di Bank atau Kantor Pos. sebelum PPh dan BPHTB dilunasi maka akta belum dapat dibayarkan. Biasanya untuk mengurus pembayaran PPh dan BPHTB dibantu oleh PPAT bersangkutan.
- Mengecek apakah jangka waktu Hak Atas Tanah sudah berakhir atau belum. Sebab untuk Sertifikat Hak Guna BAngunan (SHGB) dan Sertifikat Hak Guna Usaha (SHGU) ada jangka waktunya. Jangan sampai membeli tanah SHGB/SHGU dengan kondisi sudah jatuh tempo.
- Mengecek apakah di atas tanah yang akan dibeli ada Hak yang lebih tinggi. Misalkan, tanah yang akan dibeli adalah tanah SHGB yang di atasnya ada Hak Pengelolaan (HP). Maka penjual dan pembeli harus meminta izin dahulu kepada pemegang Hak Pengelolaan tersebut.
- Mengecek apakah rumah yang akan dibeli pernah menjadi jaminan kredit dan belum dilakukan penghapusan (Roya) atau tidak. Apabila pernah maka harus diminta Surat Roya dan Surat Lunas dari penjual agar nantinya bisa balik nama.
B. Pembuatan AJB
- Pembuatan AJB harus dihadiri penjual dan pembeli (suami istri bila sudah menikah) atau orang yang diberi kuasa dengan surat kuasa tertulis.
- Dihadirkan sekurang-kurangnya 2 saksi.
- PPAT akan membacakan dan menjelaskan isi Akta. Bila pihak penjual dan pembeli menyetujui isinya maka Akta akan ditandatangani oleh penjual, pembeli, saksi dan PPAT.
- Akta dibuat 2 lembar asli, satu disimpan oleh PPAT dan satu lembar lain akan diserahkan ke Kantor Pertanahan untuk keperluan Balik Nama. Salinannya akan diberikan pada pihak penjual dan pembeli.
C. Proses Ke kantor Pertanahan
Setelah AJB selesai di buat, maka PPAT menyerahkan berkas AJB ke kantor Pertanahan untuk Balik Nama. Penyerahan berkas AJB harus dilakukan selambat-lambatnya 7 hari kerja sejak ditandatangani.
Adapun berkas-berkas yang diserahkan meliputi:
- Surat Permohonan Balik Nama yang telah ditandatangani pembeli
- Akta Jual Beli dari PPAT
- Sertifikat Hak Atas Tanah
- Foto copy KTP penjual dan pembeli
- Bukti lunas pembayaran PPh dan BPHTB
Proses di kantor pertanahan adalah sebagai berikut:
- Setelah berkas diserahkan di Kantor Pertanahan, maka akan ada tanda bukti penerimaan yang akan diserahkan kepada pembeli.
- Nama pemegang hak lama (penjual) akan dicoret dengan tinta hitam dan diberi paraf oleh Kepala Kantor Pertanahan atau Pejabat yang ditunjuk.
- Nama pembeli selaku pemegang hak baru atas tanah akan ditulis pada halaman dan kolom yang ada pada buku tanah dan sertifikat, dengan pembubuhan tandatangan Kepala Kantor Pertanahan atau Pejabat yang ditunjuk.
- Dalam waktu 14 hari, pembeli berhak mengambil sertifikat yang sudah balik atas nama pembeli di Kantor Pertanahan setempat.
3. Tanah Warisan
Apabila suami/istri atau keduanya yang namanya tercantum dalam sertifikat sudah meninggal dunia dan ahli warisnya akan melakukan jual beli maka tanah tersebut harus dibalik nama terlebih dahulu atas nama Ahli Waris. Selain itu, Sebelum melakukan proses jual beli seperti di atas, data tambahan yang diperlukan adalah sebagai berikut :
- Surat Keterangan Waris
Untuk WNI Pribumi
Surat Keterangan Waris yang diajukan disaksikan dan dibenarkan oleh Lurah yang dikuatkan Camat.
Untuk WNI keturunan
Surat Keterangan Waris dari Notaris
- Foto copy KTP seluruh Ahli Waris
- Foto copy Kartu Keluarga (KK)
- Foto copy Surat Nikah
- Seluruh ahli waris harus hadir untuk tanda tangan AJB, atau Surat Persetujuan dan kuasa dari seluruh ahli waris kepada salah seorang di antara mereka yang dilegalisir oleh Notaris (dalam hal tidak bisa hadir)
- Bukti Pembayaran BPHTB waris (pajak Ahli Waris) dimana besarnya adalah 50% dari BPHTB jual beli setelah dikurangi dengan nilai tidak kena pajaknya.
4. Tanah Girik
Tanah girik merupakan tanah-tanah bekas hak milik adat yang belum didaftarkan atau disertifikatkan pada Kantor Pertanahan setempat. Jadi Girik bukan tanda bukti atas tanah melainkan merupakan bukti bahwa pemilik girik adalah pembayar pajak dan orang menguasai tanah milik adat atas bidang tanah tersebut beserta bangunan (bila ada) di atasnya.
Adapun jual beli tanah girik dapat dilakukan sebagai berikut:
- Akta girik yang dipakai adalah girik asli
- Bukti pembayaran PBB dari pemilik girik
- Surat keterangan bahwa tanah girik tersebut tidak sedang dalam persengketaan
- Surat keterangan Riwayat Tanah dari kelurahan/kecamatan/kepala desa. Adapun surat riwayat ini menerangkan asal tanah dan siapa saja pemilk tanah sebelumnya hingga sampai saat ini.
- Surat keterangan dari Kelurahan/Kecamatan bahwa tanah tersebut belum diperjualbelikan kepada siapapun
- Tanah tersebut tidak sedang dijaminkan
Adapun pengajuan permohonan Hak dilakukan dengan cara berikut:
- Meminta Girik asli dari penjual dan memastikan nama penjual dalam girik tersebut adalah nama yang tercantum dalam AJB.
- Memastikan bahwa objek yang termasuk di dalam tanah girik dikuasai secara fisik.
- Mengajukan permohonan Hak ke Kantor BPN wilayah dengan tahapan :
- Pengakuan pemilikan fisik tanah dilanjutkan dengan pembuatan gambar situasi
- Penelitian dan pembahasan panitia ajudikasi. Dimana panitia ajudikasi ini dibentuk oleh Menteri Negara Agraria/Kepala BPN yang bertugas membantu Kepala Kantor Pertanahan untuk melakukan pendaftaran tanah sistemik. Ajudikasi sendiri merupakan kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka proses pendaftaran tanah meliputi pengumpulan dan penetapan kebenaran data fisik dan data yuridis mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah untuk keperluan pendaftarannya.
- Pengumuman surat permohonan tersebut
- Penerbitan surat keputusan pemberian hak
- Pencetakan sertifikat tanah
Namun, mengingat girik bukanlah bukti kepemilikan atas bidang tanah yang sah, maka sebaiknya sebelum proses jual beli girik dirubah menjadi sertifikat. Disebutkan bahwa pengurusan sertifikat ini membutuhkan waktu 9 bulan. Adapun berkas yang perlu disiapkan adalah:
- Asli Girik dan asli AJB
- Foto copy KTP
- Surat penguasaan fisik bidang tanah
- Surat Keterangan Kepala Desa/kelurahan
- Surat bukti PBB
- Surat Kuasa apabila pengurusan dikuasakan kepada orang lain.
Setelah berkas-berkasnya lengkap, proses selanjutnya diteruskan ke BPN setempat dan petugas ukur akan segera mensosialisasikan luas bidang tanah yang akan dibuatkan sertifikat aslinya. Setelah berkas selesai diproses, petugas administrasi BPN akan memberikan sertifikasi kepemilikan tanah yang sah sebagai pengganti girik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar