Minggu, 19 Mei 2013

Beijing Yang Mengambil Tempe Dari Piring Kita…



Bila akhir-akhir ini lauk-pauk khas tempe mulai jarang muncul di meja makan Anda, jangan salahkan istri Anda untuk ini. Jangan salahkan pemerintah karena bisa jadi bukan salah mereka juga, tapi amannya salahkanlah Beijing atas kelangkaan dan ketidak terjangkauan tempe ini. Salahkan Beijing yang telah menyedot sekitar 60% kedelai dari pasar dunia, untuk konsumsi rakyat dan ternak mereka.

Dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang masih di angka 7.8 %, jauh di atas kita yang 6.0% - ditambah penduduknya yang 5.8 kali lebih banyak dari kita – China memang jauh lebih perkasa dari kita dalam menyedot kedelai dunia untuk rakyat dan ternak mereka. Walhasil ketika komoditi kedelai ini diperebutkan di pasar, demand selalu siap menyedot berapa saja supply kedelai dunia – maka harga pasti melonjak.

Menurut data resminya pemerintah melalui  Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian - Kementerian Pertanian, sepanjang tahun lalu (Januari- Nov) kedelai hanya naik 13%. Namun menurut Kompas (15/10/12), sampai oktober saja harga kedelai sudah naik 25.25%. Mana yang benar ? istri Anda dan para produsen tempe mungkin lebih tahu realitanya.

Kabar buruk berikutnya adalah bahwa kemahalan dan ketidak terjangkauan kedelai sebagai bahan baku tempe ini nampaknya masih akan terus berlanjut. Penyebabnya adalah kebijakan Beijing yang sama dengan kita – tidak mampu memenuhi kebutuhan kedelainya. Bila kita impor sekitar 70% kebutuhan kedelai kita, China mengimpor sekitar 80 % dari kebutuhan kedelainya.


Sampai sekitar 20 tahun lalu kebutuhan kedelai 14 juta ton mereka dapat dicukupi dengan produksi dalam negeri. Namun seiring dengan pertumbuhan ekonominya, kini China yang membutuhkan sekitar 70 juta ton kedelai per tahun – sementara produksinya relatif tetap –mereka harus mengimpor 56 juta ton-nya dari pasar internasional. Inilah yang kemudian menjadi pesaing kita yang sangat kuat dalam memperebutkan ketersediaan kedelai ini.

Lebih jauh kebutuhan kedelai yang meningkat tajam dari China ini juga mengancam supply pangan dunia secara keseluruhan. Mengapa demikian ? perhatikan pada grafik di bawah. Dalam setengah abad terakhir tanah untuk produksi gandum relatif tidak bertambah, tanah untuk produksi jagung sedikit bertambah sedangkan tanah untuk produksi kedelai melonjak tajam.

Saat ini peningkatan kebutuhan kedelai China itu sudah bukan hanya membahayakan ketersediaan bahan pangan dunia saja, tetapi juga sudah sampai titik membahayakan iklim global. Exportir utama kedelai dunia seperti Amerika sudah pada tingkat tidak bisa menambah lagi lahan kedelai tanpa harus mengorbankan lahan untuk komoditi lainnya seperti jagung dan gandum. Brasil tidak bisa lagi menambah lahan kedelai tanpa harus mengorbankan hutan Amazon mereka.

Lantas apa artinya semua ini bagi kita ?, yang jelas kedelai tidak akan kembali murah – itupun kalau masih ada yang bisa kita impor. Kedelai produksi dalam negeri hanya mencukupi sekitar 30% dari yang kita butuhkan selama ini.

Jadi ibu-ibu di rumah harus mulai berfikir menu pengganti tempe, tahu dan sejenisnya yang berbahan baku kedelai. Masalahnya adalah makanan sekelas tempe terlanjur mendarah daging di sebagian besar penduduk negeri ini, pertama karena rasanya enak dan kedua (dahulunya) sumber protein yang relatif terjangkau.

Mau diganti apa kedelai ini ?, mau diganti daging harganya sudah keburu naik lebih tinggi ketimbang kedelai. Ketika data resmi pemerintah mengungkapkan kenaikan harga kedelai 13% tersebut di atas, harga daging naiknya 14 %. Lagi-lagi istri Anda di rumah lebih tahu realitanya.

Masalah kedelai ini bukan masalah sepele bagi kita rakyat negeri ini dan keturunan kita. Ketika sumber protein yang dahulunya relatif terjangkau ini – kini menjadi tidak lagi terjangkau, maka akan terjadi degradasi gizi pada generasi kini dan nanti. Ketika gizi rata-rata itu menurun, kwalitas fisik dan intelektual kita juga menurun – inilah bahaya yang harus dihindarkan selanjutnya.

Maka apa yang seharusnya mulai kita lakukan dengan serius ?, bangsa ini ibarat sebuah keluarga besar yang gemar berpesta. Dari waktu – ke waktu kita berpesta sehingga seolah tiada hari tanpa pesta ini – silahkan baca di media. Beritanya adalah pilkada ini, pilkada itu – persiapan pemilu ini dan itu, heboh partai ini dan itu – begitu seterusnya yang semuanya berujung pada urusan pesta (demokrasi !).

Karena semuanya sedang menikmati kemeriahan pesta – sampai-sampai lupa bahwa dalam urusan pesta-pun harus ada yang menyiapkan makanannya, agar semua tamu mendapatkan jatah makanannya secara cukup. Harus ada koki yang memasaknya agar menu makanannya lezat, dan setelah itu harus ada yang mencuci piring-piringnya.

Ibarat pengamat dalam pesta tersebut, saya amati lho kok yang harusnya masak (departemen yang mengurusi pangan) ikut  berpesta, yang seharusnya mencuci piring (penegakan hukum) ikut berpesta, yang seharusnya melayani tamu (eksekutif) ikut berpesta dan semuanya tumpleg bleg dalam kemeriahan pesta. Lantas siapa yang masak ? siapa yang mencuci piring ? siapa yang melayani tamu-tamu ?

Di tengah kemeriahan pesta yang seolah tidak akan berakhir ini, sebagian kita baru sadar bahwa eh ternyata tidak ada lagi koki yang masak, tidak ada lagi yang bekerja mencuci piring dan tidak ada lagi yang melayani tamu-tamunya.

Bisa dibayangkan kemudian apa yang bisa terjadi ? AEC (ASEAN Economics Community) yang siap mengambil pekerjaan dan usaha kita kini sudah di depan mata. Dan bahkan Beijing sudah lebih dahulu mengambil tahu dan tempe dari piring-piring kita. Bahwa pesta mestinya sudah harus berakhir, waktunya bekerja keras menghadapi realita hidup yang tidak semuanya Indah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar